Total Tayangan Halaman

Rabu, 30 November 2016

Mahasiswa atau Mahasusah?

Untuk tugas mata kuliah Dasar-Dasar Jurnalistik: Feature News


Bagaimana ditanam, begitulah dituai.
Saat senja jatuh di pelataran dan bulan beringsut naik ke permukaan, saat itulah pikiran melalang buana. Mengulang kembali apa-apa yang sudah dilewatkan dari pagi hingga petang menjelang. Ada rasa bosan yang menggelitik ketika sadar bahwa seharian ini didominasi oleh kalimat-kalimat formal, disusul oleh rentetan kewajiban sebagai seorang pelajar.
Perkuliahan dan tugas.
Pernah saya dengar, katanya kuliah itu mudah. Atau, menjadi seorang mahasiswa nggak seribet menjadi seorang siswa biasa. Setelah saya alami sendiri, rupanya buah bibir semata. Hello! Menjadi seorang mahasiswa itu tidak selamanya hidup sejahtera! Tatap muka mungkin tidak sebanyak siswa SMP atau SMA, tetapi untuk tugas, boleh jadi dikatakan luar biasa. Mahasusah, itulah kata yang diperkenalkan oleh kawan-kawan seperjuangan.
“Dari mahasiswa ke mahasusah. Sudah siapkah kalian?” tanya Julianur (18 tahun). Kemudian disusul oleh kalimat yang posisi objeknya bertukaran: “Ada pepatah yang mengatakan bahwa bersusah-susah dahulu, maka bersenang-senang kemudian. Begitu pula istilah mahasusah dahulu kemudian mahasiswa,” yang diutarakan oleh salah satu senior (19 tahun) yang sengaja tidak saya beberkan identitasnya.

Kehidupan di dunia kampus tidak seperti apa-apa yang terlihat pada serial-serial hiburan di televisi. Yang kalau ke kampus, boleh sesuka hati memakai pakaian yang diminati. Yang bisa masuk dan keluar seenaknya saat proses perkuliahan. Yang tugasnya tidak sebanyak ketika SMA. Anggapan mengenai hal-hal yang saya sebutkan tadi adalah salah besar. Media hiburan hanya menayangkan ilusi dan fiktif belaka.
Faktanya, seorang mahasiswa itu tetap diatur, meskipun pengaturannya berbeda dengan pengaturan saat sekolah yakni harus memakai seragam rapi dari ujung kaki hingga kepala. Pada pertemuan pertama setiap mata kuliah, ada istilah ‘kontrak’ antara dosen dan mahasiswa. Contohnya, dalam mata kuliah bahasa Indonesia. “Yang memakai kaus, tidak akan diijinkan untuk mengikuti perkuliahan,” kata Ibu Mira Mirnawati, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengajar bahasa Indonesia. Bayangkan saja apabila salah seorang mahasiswa yang saking terburu-burunya mengejar waktu, sampai lupa perihal kontrak dengan dosen yang bersangkutan. Mau tidak mau, suka tidak suka, ikhlas tidak ikhlas, get out from the class!
Adapun contoh lainnya terletak pada pemakaian alas kaki. Universitas Negeri Gorontalo melarang dengan keras bagi mahasiswa untuk memakai sandal. Pelarangan tersebut saya ketahui ketika mengantri penyerahan ijazah di BAAKP Universitas Negeri Gorontalo. Tulisan Tidak Melayani Mahasiswa yang Memakai Sandal terpampang dengan sangat jelas di sana. Lucu juga, pikir saya saat itu. Ada segelintir mahasiswa menghela napas panjang; antara lelah dan kesal. Sudah panas, berdesak-desakkan satu dengan lainnya, selanjutnya harus melangkah mundur dan berbalik untuk pulang menggantikan sandal dengan sepatu.
“Belum dikatakan seseorang itu sebagai mahasiswa kalau belum pernah merasakan bagaimana jadinya mahasusah,” kata senior yang sama, yakni yang sengaja tidak saya beberkan identitasnya.
Benar. Pada kenyatannya, menjadi mahasiswa itu ada porsi enak dan  nggak enaknya.
Contoh porsi enak menjadi mahasiswa: bebas berekpresi pada pemilihan warna pakaian atau pada pemilihan warna sepatu. Sepatu yang semasa SMA sering ‘keluar-masuk’ ruang BK, kini bisa dengan bebas menginjak pelataran gedung belajar. Siapa mau menolak? Dan siapa pula yang peduli? “Asal jangan pakai sandal sepatu aja,” kata salah seorang dosen saat membicarakan perihal kontrak kuliah.
Di lain sisi, ada porsi nggak enak menjadi mahasiswa. Contoh, apabila ada proses perkuliahan hingga sore hari, otomatis waktu istirahat menjadi terkikis. Ditambah lagi dengan tugas yang sedikit demi sedikit mulai membukit. Terkadang, pikiran menjadi kalut. Ada rasa gelisah yang hinggap di hati: bagaimana kalau tugas ini tidak bisa diselesaikan? Dan lain sebagainya.
Sebenarnya, ada satu cara paling simpel yang bisa diterapkan untuk dapat lebih menikmati masa-masa kuliah. Saya mengutipnya dari perkataan salah satu dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi, Bapak Noval Sufriyanto Talani, S.Sn., M.Ds., M.Si., yang saat ini sedang melaksanakan studi doktornya di Institut Teknologi Bandung. Beliau berkata, “Libatkan Tuhan dalam segala urusan.” Saat itu, tepatnya saat masa orientasi siswa baru Agustus silam, beliau sedikit bercerita perihal penulisan tesis beliau. Kami, calon mahasiswa baru Jurusan Ilmu Komunikasi, mendengarkan dengan saksama. Senyum lantas terbit dari bibir saya, diiringi anggukkan pelan.
Mulai saat itu, saya langsung mencoba menerapkan apa yang pernah diucapkan oleh Bapak Noval, dan rupanya benar. Setiap mengerjakan tugas-tugas kuliah yang menurut saya rumit, lalu saya libatkan Tuhan dalam proses pengerjaannya, saya merasa seperti ada yang menggerakkan diri saya dari dalam. Rasanya beban itu kian terkikis sedikit demi sedikit hingga habis.
Berproseslah, Kawan! Lalu hargailah proses itu, niscaya kau akan merasakan kenikmatannya. Kuliah memang berat. Tugas-tugasnya seabrek. Namun, setiap proses yang dilandaskan niat, ikhtiar dan tawakal, akan selalu berbuah indah. Kau akan menuai benih yang kau tanam hari ini, di kemudian hari.
 Ingat, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyikapi Surat Pembaca dengan Strategi Khusus

Artikel: "Menyikapi Surat Pembaca dengan Strategi Khusus" Mata Kuliah: Penulisan Public Relations Menjumpai hal-hal kurang...