Mata Kuliah: Dasar-Dasar Jurnalistik
Malam itu, tepatnya 2 Desember 2016,
langit tampak sepi. Bulan dan bintang tampak bersembunyi di balik awan hitam.
Malam itu, sepertinya hujan akan turun, tetapi tidak membuat saya yang hendak
pulang ke rumah, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Mencoba menikmati
angin malam nan dingin.
Tiba-tiba saja, terdengar lagu yang
tidak asing lagi di telinga. Satu, satu,
aku sayang Ibu. Dua, dua juga sayang Ayah. Begitulah bunyinya. Lantas saya
menurunkan kecepatan motor, menengok ke kanan dan ke kiri, mencari tahu dari
mana asal suara itu. Ketika saya menoleh lagi ke depan, ada sebuah motor yang
sudah didesain sedemikan rupa.
Photo by Khumaira |
Senyum seketika terbit di bibir saya.
Itu odong-odong! Atau, orang Gorontalo biasa menyebutnya hoya. Odong-odong atau
hoya merupakan permainan yang dikhususkan untuk anak-anak. Jadi, seperti yang
sudah saya katakan tadi, motor akan didesain sedemikian rupa hingga menjadi
sebuah kereta yang memuat tiruan kuda atau kenderaan seperti mobil dan motor.
Di setiap sisinya terdapat hiasan dan lampu-lampu cantik.
Saya menjadi tertarik melihat odong-odong
itu sebab sekarang ini, odong-odong sudah sangat jarang terlihat. Mungkin,
dalam tiga tahun terakhir, malam itu merupakan kali pertama saya melihat odong-odong
lagi. Hal itu membuat saya seketika teringat masa kanak-kanak dulu.
Waktu itu, saat saya menjadi siswi
sekolah dasar, ketika jam istirahat tiba, seorang lelaki paruh baya atau jejaka
kerap mengunjungi sekolah, membawa odong-odong sekalian. Semua siswa menjadi
antusias. Waktu itu, odong-odong memang sangat tren di kalangan anak-anak. Saya
pun sama antusiasnya dengan mereka hingga rela menyisikan uang jajan hanya
untuk menikmati satu ronde permainan diiringi satu lagu anak-anak. Kalau tidak
salah ingat, harga per ronde odong-odong adalah dua ribu rupiah. Entahlah
sekarang berapa, mungkin sudah naik mengingat harga BBM juga semakin lama
semakin menjadi-jadi.
Padahal, dulu sekali, kenderaan yang
dipakai untuk kemudian dijadikan kereta bukanlah motor seperti sekarang ini.
Pada masa kanak-kanak saya, kereta odong-odong dimuat oleh sepeda yang dengan
ajaibnya, bisa menggerakkan tiruan kuda, mobil, motor dan lainnya. Tukang
odong-odong hanya perlu mengayuh sepeda seperti biasa, lalu kuda akan berputar.
Nyatanya tidak, itu hanya pikiran lugu seorang bocah berusia sembilan tahun.
Kereta sudah dipasang dinamo yang nantinya akan bekerja sendiri saat tombol
khusus turn on ditekan, tetapi saya
tidak menyadarinya dan malah asyik menikmati permainan hingga akhir.
Hal yang mengasyikkan ketika bermain
odong-odong itu ada dua. Pertama, dengan tiruan kuda, kita bisa bertingkah seakan-akan
kita adalah seorang koboi muda nan profesional. Atau, ketika menaiki mobil-mobilan;
seakan-akan kita sedang berada di arena balap. Kedua, kita dapat menikmati lagu
anak-anak selama permainan odong-odong berlangsung, membuat senyum lebar dan
gelak tawa serta-merta terbit. Ah, benar-benar mengasyikkan!
Mengumpulkan kembali kepingan memori
masa kanak-kanak, membuat saya menyayangkan satu hal. Bahwa, adik-adik saya,
yang saat ini berumur sama dengan saya waktu
itu (bahkan ada yang lebih muda), tidak sempat menikmati asyiknya naik
odong-odong. Betapa menyenangkannya berpura-pura mengendarai kuda dengan
iringan lagu anak-anak. Sekarang semuanya sibuk memegang gadget. Kiri gadget,
kanan gadget. Miris, pikir saya
setiap kali melihat adik-adik saya yang hanya berkutat di depan layar ponsel.
Andai bisa mengulang kembali masa
kanak-kanak, memutar waktu ke zaman jadul, mungkin sudah saya lakukan sejak
kemarin. Demi menikmati kereta kuda dan lagu anak-anak.
Satu,
satu aku sayang Ibu. Dua, dua juga sayang Ayah. Tiga-tiga, sayang adik kakak.
Satu, dua, tiga sayang semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar