Bagaimana
ditanam, begitulah dituai.
Saat senja jatuh di pelataran dan bulan
beringsut naik ke permukaan, saat itulah pikiran melalang buana. Mengulang
kembali apa-apa yang sudah dilewatkan dari pagi hingga petang menjelang. Ada
rasa bosan yang menggelitik ketika sadar bahwa seharian ini didominasi oleh
kalimat-kalimat formal, disusul oleh rentetan kewajiban sebagai seorang
pelajar.
Perkuliahan dan tugas.
Pernah saya dengar, katanya kuliah itu mudah. Atau, menjadi seorang mahasiswa nggak seribet
menjadi seorang siswa biasa. Setelah saya alami sendiri, rupanya buah bibir
semata. Hello! Menjadi seorang
mahasiswa itu tidak selamanya hidup sejahtera! Tatap muka mungkin tidak
sebanyak siswa SMP atau SMA, tetapi untuk tugas, boleh jadi dikatakan luar biasa. Mahasusah, itulah kata yang
diperkenalkan oleh kawan-kawan seperjuangan.
“Dari mahasiswa ke mahasusah. Sudah
siapkah kalian?” tanya Julianur (18 tahun). Kemudian disusul oleh kalimat yang
posisi objeknya bertukaran: “Ada pepatah yang mengatakan bahwa bersusah-susah
dahulu, maka bersenang-senang kemudian. Begitu pula istilah mahasusah dahulu kemudian
mahasiswa,” yang diutarakan oleh salah satu senior (19 tahun) yang sengaja tidak
saya beberkan identitasnya.
Kehidupan di dunia kampus tidak seperti
apa-apa yang terlihat pada serial-serial hiburan di televisi. Yang kalau ke
kampus, boleh sesuka hati memakai pakaian yang diminati. Yang bisa masuk dan
keluar seenaknya saat proses perkuliahan. Yang tugasnya tidak sebanyak ketika
SMA. Anggapan mengenai hal-hal yang saya sebutkan tadi adalah salah besar.
Media hiburan hanya menayangkan ilusi dan fiktif belaka.
Faktanya, seorang mahasiswa itu tetap
diatur, meskipun pengaturannya berbeda dengan pengaturan saat sekolah yakni
harus memakai seragam rapi dari ujung kaki hingga kepala. Pada pertemuan
pertama setiap mata kuliah, ada istilah ‘kontrak’ antara dosen dan mahasiswa.
Contohnya, dalam mata kuliah bahasa Indonesia. “Yang memakai kaus, tidak akan
diijinkan untuk mengikuti perkuliahan,” kata Ibu Mira Mirnawati, S.Pd., M.Pd.
selaku dosen pengajar bahasa Indonesia. Bayangkan saja apabila salah seorang mahasiswa
yang saking terburu-burunya mengejar waktu, sampai lupa perihal kontrak dengan
dosen yang bersangkutan. Mau tidak mau, suka tidak suka, ikhlas tidak ikhlas, get out from the class!
Adapun contoh lainnya terletak pada
pemakaian alas kaki. Universitas Negeri Gorontalo melarang dengan keras bagi
mahasiswa untuk memakai sandal. Pelarangan tersebut saya ketahui ketika
mengantri penyerahan ijazah di BAAKP Universitas Negeri Gorontalo. Tulisan Tidak Melayani Mahasiswa yang Memakai Sandal
terpampang dengan sangat jelas di sana. Lucu juga, pikir saya saat itu. Ada
segelintir mahasiswa menghela napas panjang; antara lelah dan kesal. Sudah
panas, berdesak-desakkan satu dengan lainnya, selanjutnya harus melangkah
mundur dan berbalik untuk pulang menggantikan sandal dengan sepatu.
“Belum dikatakan seseorang itu sebagai
mahasiswa kalau belum pernah merasakan bagaimana jadinya mahasusah,” kata
senior yang sama, yakni yang sengaja tidak saya beberkan identitasnya.
Benar. Pada kenyatannya, menjadi
mahasiswa itu ada porsi enak dan nggak enaknya.
Contoh porsi enak menjadi mahasiswa: bebas berekpresi pada pemilihan warna
pakaian atau pada pemilihan warna sepatu. Sepatu yang semasa SMA sering ‘keluar-masuk’
ruang BK, kini bisa dengan bebas menginjak pelataran gedung belajar. Siapa mau
menolak? Dan siapa pula yang peduli? “Asal jangan pakai sandal sepatu aja,”
kata salah seorang dosen saat membicarakan perihal kontrak kuliah.
Di lain sisi, ada porsi nggak enak menjadi mahasiswa. Contoh,
apabila ada proses perkuliahan hingga sore hari, otomatis waktu istirahat
menjadi terkikis. Ditambah lagi dengan tugas yang sedikit demi sedikit mulai
membukit. Terkadang, pikiran menjadi kalut. Ada rasa gelisah yang hinggap di
hati: bagaimana kalau tugas ini tidak bisa diselesaikan? Dan lain sebagainya.
Sebenarnya, ada satu cara paling simpel
yang bisa diterapkan untuk dapat lebih menikmati masa-masa kuliah. Saya
mengutipnya dari perkataan salah satu dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi, Bapak
Noval Sufriyanto Talani, S.Sn., M.Ds., M.Si., yang saat ini sedang melaksanakan
studi doktornya di Institut Teknologi Bandung. Beliau berkata, “Libatkan Tuhan
dalam segala urusan.” Saat itu, tepatnya saat masa orientasi siswa baru Agustus
silam, beliau sedikit bercerita perihal penulisan tesis beliau. Kami, calon
mahasiswa baru Jurusan Ilmu Komunikasi, mendengarkan dengan saksama. Senyum
lantas terbit dari bibir saya, diiringi anggukkan pelan.
Mulai saat itu, saya langsung mencoba
menerapkan apa yang pernah diucapkan oleh Bapak Noval, dan rupanya benar.
Setiap mengerjakan tugas-tugas kuliah yang menurut saya rumit, lalu saya
libatkan Tuhan dalam proses pengerjaannya, saya merasa seperti ada yang
menggerakkan diri saya dari dalam. Rasanya beban itu kian terkikis sedikit demi
sedikit hingga habis.
Berproseslah, Kawan! Lalu hargailah
proses itu, niscaya kau akan merasakan kenikmatannya. Kuliah memang berat.
Tugas-tugasnya seabrek. Namun, setiap proses yang dilandaskan niat, ikhtiar dan tawakal, akan selalu berbuah
indah. Kau akan menuai benih yang kau tanam hari ini, di kemudian hari.
Ingat, tidak ada hasil yang
mengkhianati usaha!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar